bismillah..
sudah berapa kali dibahas bahwa kita adalah da’i/yah, bukan hakim. saya yakin pemahaman ini sudah nglothok di kepala kalian. tapi pada praktiknya… ?
dalam tulisan saya yang lalu, saya pernah mengupas tentang standar penilaian. masing-masing dari kita punya standar tersendiri untuk menilai sesuatu. tetapi alangkah bijaknya jika standar ini tidak semena-mena. baik menurut 1 orang belum tentu baik menurut orang lain. tidak semua yang putih itu benar-benar cerah, dan yang hitam tak semuanya benar-benar pekat. ada potensi abu-abu di sana.
punya standard, silakan. sah-sah saja. harus malah. standar seorang presiden yang ideal, standar guru, standar kader, standar da’i, maupun standar orang baik. boleh. silakan. tapi tolonglah bijak menggunakan standar.
misal, kita punya standar untuk seorang kader da’wah, layaknya begini dan begitu. tapi, ketika pada kenyataannya ia berada di bawah standar -yang kita tetapkan sendiri tsb, ya ingat kembali bahwa kita bukanlah hakim. seorang da’i di satu sisi juga otomatis adalah seorang mad’u di sisi lain. ia berhak diingatkan, dinasehati, dan diarahkan, bukan serta merta langsung diadili. apalagi jika diadili dengan tidak bijak, misal di-illfeel-i, kemudian memandangnya sebelah mata atau tidak menganggapnya. bukankah hal ini malah akan membuatnya jauh dari petunjuk dan mematikan potensi kebaikannya…